Minggu, 08 Januari 2012

CANDI JABUNG

Candi Jabung terletak di Desa Jabung Candi, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Candi yang ditahbiskan sebagai bangunan suci dengan nama Bajrajinaparamitapura ini merupakan bangunan untuk tempat pemujaan bagi tokoh wanita keluarga Hayam Wuruk, bernama Brha Gundal. Candi ini dalam Kitab Nagarakrtagama disebut Candi Kalayu, sedangkan dalam Kitab Pararaton disebut Candi Sajabung.
Dalam kitab Nagarakrtagama, nama Candi Kalayu disebut khususnya pada bagian yang memaparkan perjalanan raja Hayam Wuruk (Rajasanagara) ke daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun ketiga masa pemerintahannya (1275 C/1353 M). Perjalanan raja Hayam Wuruk ini disertai oleh seluruh keluarga raja (Bhatara sapta Prabhu), para menteri, pemimpin agama dan wakil golongan masyarakat. Nagarakrtagama menyebut bahwa perjalanan raja Hayam Wuruk beserta rombongannya, bertujuan terutama untuk menghayati keadaan masyarakat yang dipimpinnya, tak ubahnya semacam “sidak” (inspeksi mendadak) yang biasa dilakukan oleh para pejabat masa kini. Selain sebagai inspeksi mendadak dan peziarahan, ada pula yang mengatakan bahwa perjalanan Hayam Wuruk itu merupakan salah satu dharma yang harus dijalaninya, yang mengandung arti magis, yakni untuk penyatuan dan kesatuan (unity) wilayah kerajaannya.
Perjalanan rombongan raja Hayam Wuruk menyinggahi beberapa tempat di daerah kekuasaannya, seperti Lasem (tahun 1354 M), Lodaya (1357 M), Palah (1361 M), Lwang, Balitar, Jime dan Simping. Dalam perjalanan itu, Hayam Wuruk juga sempat mengerahkan rakyat untuk memperbaiki beberapa tempat penyeberangan di Sungai Solo dan Brantas, memperbaiki bendungan Kali Konto, memperbaiki Candi Sumberjati dan sekaligus nyekar atau ziarah ke makam kakeknya (Raden Wijaya), memugar Candi Jabung (1353 M), memperindah candi pemujaan Tribhuwanattunggadewi di Panggih, menambah candi perwara di Palah (Panataran-Blitar, 1369 M) serta sebuah pendapa untuk kepentingan persajian (1375 M), menyelesaikan dua buah candi di Kediri (Candi Surawana dan Tigawangi), dan akhirnya pada tahun 1371 mendirikan Candi Padi di dekat Porong-Jawa Timur, yang bentuknya menyerupai percandian di Champa.
Setelah dipugar oleh Raja Hayam Wuruk pada 1353 Masehi, untuk lebih dari 500 tahun, Candi Jabung seakan terlupakan. Candi yang secara tipologis memiliki kesamaan bentuk dengan Candi Muara Takus (Riau) dan Biaro Bahal (Padang Sidempuan) tersebut baru dipugar kembali pada tahun 1983 oleh pemerintah dan sekaligus dijadikan sebagai benda cagar budaya.
Data BangunanCandi Jabung terbuat dari batu merah dengan ukuran, panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter dan tinggi 15,58 meter. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat dengan luas 20.042 meter persegi. Sebelum dipugar areal candi hanya seluas 35x40 meter. Seperti bangunan candi umumnya, Candi Jabung terdiri atas tiga bagian, yaitu: kaki, badan dan atap. Kaki bangunan bertingkat tiga, berbentuk persegi, dan disekelilingnya terdapat relief bermotif sulur-suluran dan medalion. Di sisi barat masih terlihat bagian yang menjorok ke depan yang merupakan bekas susunan tangga naik memasuki candi.
Badan candi berbentuk bulat (silender segi delapan). Badan candi ini bersifat Siwaistik karena sekelilingnya dipahatkan adegan-adegan cerita Sri Tanjung. Legenda Sri Tanjung pada dasarnya mengisahkan fitnahan terhadap Sri Tanjung, seorang dewi yang sangat cantik, isteri Raden Sidapaksa, yang berakhir dengan kematian/pembunuhan Sri Tanjung.
Karena tidak bersalah, maka Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh para dewa dan bertempat tinggal di kediamannya semula sebelum kawin. Singkat Cerita, Raden Sidapaksa disuruh oleh Betari Durga untuk pergi ke kediaman Sri Tanjung. Namun isteri yang teraniaya ini menolak untuk rujuk kembali, kecuali apabila Raden Sidapaksa dapat membunuh dan membawa rambut si pemfitnah untuk dijadikan kesed (pembersih kaki) Sri Tanjung. Setelah permintaan tersebut terlaksana, suami-isteri itu kembali hidup bersama-sama.
Pada ambang relung-relung candi terdapat hiasan kepala kala motif Jawa Timur, serta sebuah relief rosetta dengan angka tahun 1276 Caka (1354 M). Dalam bilik candi masih terdapat lapik arca, sedangkan pada atap candi bersifat Buddhistik dengan bentuk pagoda (stupa) dan berhias sulur-suluran.
Angka tahun 1276 Caka/1354 Masehi, boleh jadi bukanlah angka tahun pembangunan candi karena, baik menurut kitab Nagarakrtagama maupun Pararaton, angka tersebut menunjuk pada pertanggalan perjalanan Hayam Wuruk ke candi tersebut dan sekaligus memperbaiki/memugar candi pemujaan untuk Raden Wijaya itu.
Di sebelah barat daya halaman candi terdapat bangunan Candi Menara Sudut yang diperkirakan fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk. Candi Menara Sudut terbuat dari bahan batu bata, yang ukuran tiap-tiap sisinya 2,55 meter dan tinggi 6 meter. (pepeng)

Mesieum naskah proklamasi

Museum Perumusan Naskah Proklamasi berada di Jalan Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat, kurang lebih 75 M sebelah barat daya dari Taman Suropati di Jl. Imam Bonjol. Pada masa Hindia Belanda jalan ini bernama Nassau Boulevaard, kemudian pada masa pendudukan Jepang menjadi Jl. Meiji Dori dan ditempati oleh Laksamana Muda Laut Tadashi Maeda.
Bangunan Museum Perumusan Naskah Proklamasi menempati tanah seluas 4.380 m2 dengan luas bangunan 1.645.31 m2, bergaya Eropa (Art Deco) dan berlantai dua. Lantai atas terdiri dari kamar tidur Maeda, ruang kerja pribadi, kamar tidur sekretaris, ruang perkantoran staf rumah tangga dan tempat istirahat, kamar tidur pembantu wanita.
Lantai bawah adalah ruang yang berkaitan dengan sejarah perumusan Naskah Proklamasi, lantai bawah ini terdiri dari: ruang pra perumusan Naskah Proklamasi, Ruang pengetikan Naskah Proklamasi, ruang pengesahan/penandatanganan Naskah Proklamasi.
Latar Belakang Sejarah
Perjuangan bangsa Indonesia mencapai puncaknya pada 17 Agustus 1945, yang telah membang bangsa Indonesia merdeka dan berdaulat serta menuju pada tahapan untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan yang telah diproklamirkan. Perumusan Naskah Proklamasi tersebut terjadi di Gedung bekas kediaman Laksamana Muda Laut Tadashi Maeda, Jl. Meiji Dori (sekarang Jl. Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat).
Museum Perumusan Naskah Proklamasi adalah museum sejarah karena di museum ini diungkapkan peristiwa sejarah yang pernah terjadi empat puluh delapan tahun yang lalu, di mana peristiwa penting dan bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut tidak akan pernah terulang lagi. Gedungnya sendiri didirikan sekitar tahun 1920. Tidak ada catatan atau literatur yang menceriterakan tentang gedung tersebut. Berdasarkan surat ukur Nomor 955 tanggal 21 Desember 1931, pemiliknya adalah PT. Asuransi Jiwasraya yang merupakan bekas hak guna bangunan Nomor 1337/Menteng. Sebelum terjadi Perang Pasifik gedung itu digunakan sebagai British Council General (Konsulat Jenderal Inggris), sampai Jepang menduduki Indonesia. Dalam masa awal kemerdekaan Indonesia, gedung tersebut menjadi kediaman resmi Duta Besar Kerajaan Inggris (1947).
Dalam aksi nasionalisasi terhadap milik bangsa asing, maka gedung tersebut diambil oleh pemerintah, kemudian diserahkan kepada Departemen Keuangan. Pengelolaan gedung dilaksanakan oleh PT. Asuransi Jiwasraya. Pada 1961 gedung itu dikontrak oleh Kedutaan Inggris sampai tahun 1981.
Sejak 1976 pemerintah Indonesia telah merintis gedung tersebut untuk dijadikan Monumen Sejarah. Berdasarkan rapat Koordinasi Bidang Kesra Departemen Dalam Negeri dan Pemda DKI Jakarta 25 November 1980 diputuskan bahwa gedung yang terletak di Jl. Imam Bonjol Nomor 1, Jakarta Pusat akan dijadikan Monumen Sejarah Indonesia.
Keputusan tersebut diterima oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Akhirnya pada 28 Desember 1981 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerima gedung tersebut dari PT. Asuransi Jiwasraya dengan penggantian uang dari anggaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. Untuk sementara waktu pengelolaan gedung ini dilaksanakan oleh Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta. Pada 1982 ditempati oleh Perpustakaan Nasional sebagai perkantoran. Pada 1984 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof DR. Nugroho Notosusanto memberikan instruksi kepada Direktur Permuseuman, agar segera merealisir gedung bersejarah tersebut menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Pada 26 Maret 1987 gedung tersebut diserahkan kepada Direktorat Permuseuman. Direktorat Jenderal Kebudayaan, untuk dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Gedung tersebut menjai sangat penting artinya bagi bangsa Indonesia karena pada 16 Agustus 1945 di gedung tersebut telah terjadi peristiwa sejarah, yaitu perumusan naskah proklamasi bangsa Indonesia untuk memperjuangkan haknya sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Selain itu usaha Belanda untuk merintangi kemerdekaan merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia dalam mempertahankan tanah airnya.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, tidak hanya dilakukan secara fisk, tetapi juga dengan cara diplomasi. Awal perjuangan secara diplomasi itu dimulai di gedung tersebut, yaitu pada 17 November 1945 diadakan pertemuan antara pihak Indonesia dan Belanda. Saat itu gedung tersebut adalah Markas Besar Tentara Inggris. Pihak Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan pihak Belanda diwakili oleh Dr. Hj. Can Mook, sedangkan dari pihak Sekutu diwakili oleh Letnan Jenderal Christison selaku pemrakarsa. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mempertemukan pihak Indonesia dan Belanda serta menjelaskan maksud kedatangan Sekutu. Pertemuan tersebut idak mencapai hasil apapun.
Pada 7 Oktober 1946, atas jasa Inggris diadakan perundingan lagi di gedung perumusan Naskah Proklamasi tersebut, antara pihak Belanda dan Indonesia. Pemerintah Inggris mengutus Lord Killearn sebagai penengah, pihak Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Belanda Schermenhorn. Dalam pertemuan ini dihasilkan persetujuan gencatan senjata yang ditandatangani pada 14 Oktober 1946.
Dengan adanya banyak peristiwa penting di gedung tersebut, di antaranya perumusan Naskah Proklamasi, yang merupakan asal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka gedung tersebut dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi. (Sumber data Museum Perumusan Naskah Proklamasi).

PURA Maospahit tonja

Kita sering mendengar nama Wilwatikta di Jawa sedangkan di Bali lebih banyak digunakan Maospahit. Keduanya untuk maksud yang sama, yakni lebih mengangkat nama Majapahit. Bedanya kalau Wilwatika merupakan terjemahan sanskerta yang berkonotasi kemegahan dan petis sedangkan Maospahit merupakan penghalusan dari Majapahit bersifat filosofis-religius. Sifat yang terakhir ini lebih jelas lagi dengan adanya sebutan Batara Maospahit yang sering disediakan Pelinggih dengan hiasan kepala manjangan di komplek pura. Bahkan ada yang seluruh pura itu disebut Maospahit. Salah satunya adalah pura Maospahit Tatasan di desa Tonja, Kecamatan Denpasar Timur, Kabupaten Badung. Pura ini sangat mudah dicari karena hanya sejauh 2,5 km ke arah laut dari pusat kota Denpasar Bali.
Struktur dan fungsi bangunan
Pura Maospahit Tatasan Tonja bukanlah pura yang besar, namun mempunyai beberapa keistimewaan ditinjau secara arkeologis. Pura ini terdiri dari dua halaman, yakni halaman depan atau jabaan dan halaman belakang atau jeroan. Halaman belakang atau jeroan merupakan halaman utama. Susunan yang demikian mirip dengan candi-candi Jawa Timur.
Kalau akan memasuki jabaan kita harus melalui gerbang dalam bentuk candi belah atau candi bentar, kemudian menuju jeroan melalui kori agung dalam bentuk paduraksa.

Di jeroan kita dapatkan berbagai bangunan dan benda-benda suci dalam bentuk tajuk, gedong, bale, padmasana, pelinggih, kori dan lain-lain. Beberapa bangunan atau benda suci yang perlu kita kenali lebih jauh karena pentingnya ditinjau dari sudut arkeologis adalah meja batu, padupaan, prasada, batu pesiraman dan kolam.
Meja batu
Meja batu ini terbuat dari batuan jenis tuva breksi, monolit berwarna hitam, berbentuk bulat, berkaki, bercerat, terletak di atas bebatuan. Bebatuan itu berhiaskan kepala Banaspati, bunga teratai, gajah. Di samping meja batu terdapat pedupaan.
Meja batu semacam ini tidak umum terdapat pada pura, asal konteks budaya dan periodenya lain, justeru lebih tua yakni masa prasejarah.
Prasada
Prasada yang termasuk bangunan pokok bagi suatu pura, terdapat di pura Masopahit Tatasan ini. Denahnya segi empat bujur sangkar, terdiri atas kaki, badan dan atap yang makin ke atas makin meruncing serta bertingkat-tingkat. Bahannya dari batu-bata, batu padas, dan batu karang. Bata pada pura ini berukuran lebih besar dan lebih kuat dari pada bata sekarang. Jenis bata demikian disebut bata tipe Majapahit. Di jawa prasada seperti ini disebut candi. Prasada yang tingginya 7,60 m dan berdenah 2,20 x 2,20 m itu mempunyai ruang badannya (garbhadhatu), pintunya terbuat dari kayu. Hiasannya berbagai pepatraan dan kekarangan. Hiasan yang istimewa adalah porselin berupa piring-piring dan mangkuk-mangkuk yang disukkan kedalam lekukan pada permukaan kulit prasada. Hiasan semacam ini di Jawa tidak umum untuk candi tetapi pada bangunan-bangunan istana dan pemakaman pada masa awal perkembangan agama Islam.
Pintu dengan gambar-gambar singa, burung, kepala raksasa dan bingkai pintu sendiri, sering ditafsirkan sebagai candra sangkala yang menunjuk pada angka tahun 1295 Saka atau 1373 M.
Batu Pesiraman
Pepalungan batu ini ditaruh di sebelah barat laut meja batu. Bentuknya agak lonjong ditempatkan di atas bebaturan bata yang rendah. Menilik bentuk dan bahannya batu pesiraman ini adalah dolmen dari tradisi megalitik juga.
Kolam
Kolam yang terdapat di jeroan ini diasosiasikan dengan lautan susu tempat bersemayamnya tirta amerta, atau menurut keyakinan masyarakat setempat berfungsi sebagai tempat pemandian bidadari.
Lintasan Sejarah
Pura pada dasarnya adalah tempat peribadatan agama Hindu-Bali. Meskipun agama Hindu di Indonesia berkembang sejak masa klasik (abad 5-15 Masehi) hingga sekarang, namun kenyataannya di lingkungan pura sering kita temukan unsur-unsur masa sebelumnya, seperti meja batu dari tradisi megalitik masa prasejarah. Dengan begitu ada kemungkinan sebelum dibangun sebagai pura, tempat ini sudah menjadi tempat suci pemujaan arwah nenek moyang pada masa prasejarah atau benda-benda itu dibuat pada masa klasik dengan mengambil pola dari masa sebelumnya. Kesinambungan budaya semacam itu memang lazim terjadi di tanah air kita.
Nama Maospahit mengingatkan kita akan kerajaan Majapahit. Bali pun seperti kita ketahui telah dipersatukan dengan Majapahit. Bukan hanya di bidang pemerintahan, melainkan juga di bidang budaya Bali banyak mengambil pola dari Jawa Timur, khususnya Majapahit. Tokoh-tokoh keagamaan dan kebudayaan seperti Mpu Kuturan, Mpu Baradah, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Prapanca, Mpu Tantular dan lain-lain masih dipandang sebagai pahlawan budaya (culture-hero) dan hasil karyanya masih banyak dikenang dan diamalkan. Disamping itu adanya candra sangkala yang mengacu ke angka tahun 1373 Masehi memberi petunjuk bahwa sangat mungkin pura ini dibangun pada masa kekuasaan Majapahit (abad 14-15 M) dan berfungsi terus hingga sekarang.
Pelestarian dan pendayagunaan
Dalam peraturan cagar budaya bangunan kuno seperti Pura Maospahit Tatasan Toraja termasuk monumen hidup (livingmonument), yakni bangunan purbakala yang statusnya masih berfungsi seperti maksud pembangunannya.
Mengingat pentingnya pura ini ditinjau dari sudut cagar budaya dan melihat kenyataan bangunan itu menghadapi ancaman kerusakan fatal, maka Pemerintah dalam hal ini Depdikbud, Ditjenbud. Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala yang pada tanggal 14 Juni 1988 ini genap berumur 75 tahun, melalui UPT Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Bali telah melakukan pemugaran. Sebagai livingmonument maka pemeliharaannya diserahkan kepada masyarakat setempat, khususnya penyungsungnya yang menggunakan sebagai tempat ibadah. Di samping itu juga dapat digunakan sebagai sasana wisata budaya sepanjang tidak bertentangan atau mengganggu kepentingan keagamaan. Hal-hal ini tentunya dapat diatur sebaik mungkin.

BATIK TULIS BANTUL

Batik adalah suatu hasil karya yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Di berbagai wilayah Indonesia banyak ditemui daerah-daerah perajin batik. Setiap daerah pembatikan mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri, baik dalam ragam hias maupun tata warnanya. Dan, salah satu daerah itu adalah Yogyakarta. Di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri sentra produksi batik-tulis bertebaran di berbagai wilayah yang masing-masing hanya mengembangkan motif-motif tertentu, sehingga mudah untuk dikenali dari wilayah mana asal batik tersebut. Di Kota Yogyakarta industri batik terdapat di wilayah: Tirtodipuran, Panembahan dan Prawirotaman. Di Kabupaten Kulonprogo berada di Desa: Hargomulyo, Kulur dan Sidorejo. Di Kabupaten Gunungkidul berada di Desa: Nitikan, Ngalang dan Mengger. Di Kabupaten Sleman industri batik berada di Desa Nogotirto dan Mororejo. Di Kabupaten Bantul industri batik berada di Desa: Wijireja, Murtigading dan Wukirsari. Ini artinya, di setiap daerah TK.II (kota dan kabupaten) yang tergabung dalam Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat sentra-sentra pembatikan. Artikel ini hanya akan membahas salah satu sentra pembatikan yang ada di daerah Bantul, tepatnya di Desa Wukirsari yang produk batiknya kemudian dikenal sebagai “Batik-Tulis Giriloyo”.
Asal-usul
Konon, desa yang sekarang dikenal sebagai Wukirsari adalah gabungan dari desa-desa kecil, yaitu Giriloyo, Pucung, Singosaren dan Kedungbuweng. Penduduknya masing-masing mempunyai aktivitas tersendiri, terutama Giriloyo, Pucung, dan Singosaren, sehingga desa-desa tersebut menjadi terkenal karena keahlian yang dimiliki oleh penduduknya. Dalam hal ini Giriloyo terkenal dengan batiknya, Pucung terkenal dengan kerajinan kulit dan anyaman bambunya, dan Singosaren terkenal dengan gentengnya.
Asal usul batik tulis Giriloyo konon berawal bersamaan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri yang terletak di bukit Merak pada tahun 1654. Pada waktu itu, ketika Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) berniat membangun makam, beliau menemukan bukit yang tanahnya berbau harum dan dirasa cocok untuk dibuat makam. Namun, ketika pemakaman sedang dibangun, pamannya yang bernama Panembahan Juminah menyatakan keinginannya untuk turut dimakamkan di tempat itu. Ternyata yang meninggal duluan adalah pamannya. Oleh karena itu, yang pertama kali menempati makam tersebut adalah pamannya dan bukan Sultan Agung. Sultan Agung pun kecewa karena sebagai penguasa atau raja seharusnya yang pertama kali dimakamkan di situ adalah dirinya. Untuk menetralisir kekecewaan, Sultan Agung mengalihkan pembangunan calon makam untuk dirinya di bukit lain yang oleh penduduk setempat dinamakan “Bukit Merak” yang berada di Dusun Pajimatan wilayah Girirejo11.
Sejalan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri ini maka perlu tenaga yang bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaganya. Untuk itu, keraton menugaskan abdi dalem yang dikepalai oleh seorang yang berpangkat bupati. Oleh karena banyak abdi dalem yang bertugas memeliharanya, sehingga sering berhubungan dengan keraton, maka kepandaian membatik dengan motif batik halus keraton berkembang di wilayah ini. Kemudian, keterampilan membatik itu diwariskan kepada anak atau cucu perempuannya.
Seiring dengan pesanan keraton yang semakin banyak, sementara jumlah perajian batik yang ada di Pajimatan terbatas (tidak memadai), mereka mendatangkan tenaga-tenaga dari Giriloyo. Dan, bagi penduduk Giriloyo itu merupakan suatu keberuntungan karena mereka bisa ngangsu kaweruh tentang batik di Pajimatan sebelum mereka berusaha sendiri. Apalagi, pengerjaannya dilakukan di rumah masing-masing. Artinya, kain yang akan dibatik dibawa pulang ke Giriloyo, kemudian (setelah jadi) disetorkan ke Pajimatan. Inilah yang kemudian membuat nama Giriloyo lebih mencuat ketimbang Pajimatan.
Satu hal yang perlu diacungi jempol adalah bahwa para perajin batik Giriloyo tetap mempertahankan batik-tulisnya. Mereka bukannya tidak mengenal batik-cap sebagaimana sentra-sentra lainnya di wilayah bantul, seperti Desa Wijireja, Murtigading2, tetapi mereka tidak tergoda; mereka tetap mempertahankan tradisi leluhurnya, yaitu memproduksi batik-tulis dan bukannya batik-cap. Adapun jenis-jenis batik yang diproduksi antara lain: jarit, sarung, dan kemben (selendang).
Peralatan dan Bahan
Peralatan yang digunakan untuk membuat batik-tulis diantaranya adalah: (1) wajan kecil yang digunakan sebagai tempat untuk memanaskan malam (lilin) supaya cair; (2) anglo, untuk memanaskan malam dengan bara api dari arang; (3) tepas (kipas), untuk memperoleh angin agar bara api tetap menyala; (4) gawangan, untuk menempatkan mori yang akan dibatik; (5) bandhul, untuk menahan kain agar tidak bergerak-gerak ketika dilukis; (6) uthik, untuk mengais arang; (7) canting dengan berbagai macam ukuran sebagai alat untuk mencurahkan malam cair ke dalam mori yang digambari; (8) kenceng, untuk mendidihkan air ketika nglorot atau mbabar; (9) cawuk, untuk mengerok; dan (10) alu, untuk memukuli kain mori yang akan dibatik agar lemas dan memudahkan pembatik dalam proses pembuatannya. Bahan dasar untuk membuat batik tulis adalah kain mori. Selain itu, ada pula bahan-bahan yang digunakan sebagai pewarnanya yang dapat berupa zat kimia maupun pewarna alami seperti: kulit kayu tingi, soga, tegeran, dan lain sebagainya.
Proses Pembuatan Batik Tulis Giriloyo
Tahap-tahap pembuatan batik-tulis di Giriloyo adalah sebagai berikut. Sebelum kain mori dibatik, biasanya dilemaskan. Caranya adalah dengan digemplong, yaitu kain mori digulung kemudian diletakkan di tempat yang datar dan dipukuli dengan alu yang terbuat dari kayu. Setelah kain menjadi lemas, maka tahap berikutnya adalah mola, yaitu membuat pola pada mori dengan menggunakan malam. Setelah pola terbentuk, tahap selanjutnya adalah nglowong, yakni menggambar di sebalik mori sesuai dengan pola. Kegiatan ini disebut nembusi. Setelah itu, nembok yang prosesnya hampir sama dengan nglowong tetapi menggunakan malam yang lebih kuat. Maksudnya adalah unutk menahan rembesan zat warna biru atau coklat. Tahap selanjutnya adalah medel atau nyelup untuk memberi warna biru supaya hasilnya sesuai dengan yang diinginkan. Proses medel dilakukan beberapa kali agar warna biru menjadi lebih pekat. Selanjutnya, ngerok yaitu menghilangkan lilin klowongan agar jika disoga bekasnya berwarna coklat. Alat yang digunakan untuk ngerok adalah cawuk yang terbuat dari potongan kaleng yang ditajamkan sisinya. Setelah dikerok, kemudian dilanjutkan dengan mbironi. Dalam proses ini bagian-bagian yang ingin tetap berwarna biru dan putih ditutup malam dengan menggunakan canting khusus agar ketika disoga tidak kemasukan warna coklat. Setelah itu, dilanjutkan dengan nyoga, yakni memberi warna coklat dengan ramuan kulit kayu soga, tingi, tegeran dan lain-lain. Untuk memperoleh warna coklat yang matang atau tua, kain dicelup dalam bak berisi ramuan soga, kemudian ditiriskan. Proses nyoga dilakukan berkali-kali dan kadang memakan waktu sampai beberapa hari. Namun, apabila menggunakan zat pewarna kimia, proses nyoga cukup dilakukan sehari saja. Proses selanjutnya yang merupakan tahap akhir adalah mbabar atau nglorot, yaitu membersihkan malam. Caranya, kain mori tersebut dimasukkan ke dalam air mendidih yang telah diberi air kanji supaya malam tidak menempel kembali. Setelah malam luntur, kain mori yang telah dibatik tersebut kemudian dicuci dan diangin-anginkan supaya kering. Sebagai catatan, dalam pembuatan satu potong batik biasanya tidak hanya ditangani oleh satu orang saja, melainkan beberapa orang yang tugasnya berbeda.
Motif Ragam Hias Batik Tulis Giriloyo
Kekayaan alam Yogyakarta sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, kain batik-tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Motif-motif ragam hias biasanya dipengaruhi dan erat kaitannya dengan faktor-faktor: (1) letak geografis; (2) kepercayaan dan adat istiadat; (3) keadaan alam sekitarnya termasuk flora dan fauna; dan (4) adanya kontak atau hubungan antardaerah penghasil batik; dan (5) sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.
Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996), menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Beberapa nama ragam hias atau motif batik Yogyakarta antara lain: Parang, Banji, tumbuh-tumbuhan menjalar, tumbuh-tumbuhan air, bunga, satwa, Sido Asih, Keong Renteng, Sido Mukti, Sido Luhur, Semen Mentul, Sapit Urang, Harjuna Manah, Semen Kuncoro, Sekar Asem, Lung Kangkung, Sekar Keben, Sekar Polo, Grageh Waluh, Wahyu Tumurun, Naga Gini, Sekar Manggis, Truntum, Tambal, Grompol, Ratu Ratih, Semen Roma, Mdau Broto, Semen Gedhang, Jalu Mampang dan lain sebagainya.
Masing-masing motif tersebut memiliki nilai filosofis dan makna sendiri. Adapun makna filosofis dari batik-batik yang dibuat di Giriloyo antara lain: (1) Sido Asih mengandung makna si pemakai apabila hidup berumah tangga selalu penuh dengan kasih sayang; (2) Sido Mukti mengandung makna apabila dipakai pengantin, hidupnya akan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan; (3) Sido Mulyo mengandung makna si pemakai hidupnya akan selalu mulia; (4) Sido Luhur mengandung makna si pemakai akan menjadi orang berpangkat yang berbudi pekerti baik dan luhur; (5) Truntum3 mengandung makna cinta yang bersemi; (6) Grompol artinya kumpul atau bersatu, mengandung makna agar segala sesuatu yang baik bisa terkumpul seperti rejeki, kebahagiaan, keturunan, hidup kekeluargaan yang rukun; (7) Tambal mengandung makna menambah segala sesuatu yang kurang. Apabila kain dengan motif tambal ini digunakan untuk menyelimuti orang yang sakit akan sebuh atau sehat kembali sebab menurut anggapan pada orang sakit itu pasti ada sesuatu yang kurang; (8) Ratu Ratih dan Semen Roma melambangkan kesetiaan seorang isteri; (9) Mdau Bronto melambangkan asmara yang manis bagaikan madu; (10) Semen Gendhang mengandung makna harapan agar pengantin yang mengenakan kain tersebut lekas mendapat momongan.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Orang yang membatik tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para pembatik di Giriloyo khususnya dan Yogyakarta umumnya, seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian membatik tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.
Nilai Budaya
Batik-tulis yang diproduksi oleh para perajin di Giriloyo jika dicermati, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: kesakralan, keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai kesakralan tercermin dalam motif-motif tertentu yang hanya boleh digunakan oleh sultan dan keluarganya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran karena tanpa itu tidak mungkin untuk menghasilkan sebuah batik tulis yang bagus.

KUDA RENGGONG

Asal Usul
Kuda renggong adalah suatu kesenian khas masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menampilkan 1-4 ekor kuda yang dapat menari mengikuti irama musik. Di atas kuda-kuda tersebut biasanya duduk seorang anak yang baru saja dikhitan atau seorang tokoh masyarakat. Kata renggong adalah metatesis dari ronggeng yang artinya gerakan tari berirama dengan ayunan (langkah kaki) yang diikuti oleh gerakan kepala dan leher.
Kesenian kuda renggong atau yang dahulu biasa disebut kuda igel karena bisa ngigel (menari) ini konon tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang. Waktu itu (sekitar tahun 1880-an) ada seorang anak laki-laki bernama Sipan yang mempunyai kebiasaan mengamati tingkah laku kuda-kuda miliknya yang bernama si Cengek dan si Dengkek. Dari pengamatannya itu, ia menyimpulkan bahwa kuda juga dapat dilatih untuk mengikuti gerakan-gerakan yang diinginkan oleh manusia.

Selanjutnya, ia pun mulai melatih si Cengek dan si Dengkek untuk melakukan gerakan-gerakan seperti: lari melintang (adean), gerak lari ke pinggir seperti ayam yang sedang birahi (beger), gerak langkah pendek namun cepat (torolong), melangkah cepat (derep atau jogrog), gerakan kaki seperti setengah berlari (anjing minggat), dan gerak kaki depan cepat dan serempak (congklang) seperti gerakan yang biasa dilakukan oleh kuda pacu. Cara yang digunakan untuk melatih kuda agar mau melakukan gerakan-gerakan tersebut adalah dengan memegang tali kendali kuda dan mencambuknya dari belakang agar mengikuti irama musik yang diperdengarkan. Latihan dilakukan selama tiga bulan berturut-turut hingga kuda menjadi terbiasa dan setiap mendengar musik pengiring ia akan menari dengan sendirinya.
Melihat keberhasilan Sipan dalam melatih kuda-kudanya ‘ngarenggong’ membuat Pangeran Aria Surya Atmadja yang waktu itu menjabat sebagai Bupati Sumedang menjadi tertarik dan memerintahkannya untuk melatih kuda-kudanya yang didatangkan langsung dari Pulau Sumbawa. Dan, dari melatih kuda-kuda milik Pangeran Aria Surya Atmadja inilah akhirnya Sipan dikenal sebagai pencipta kesenian kuda renggong.
Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian kuda renggong bukan hanya menyebar ke daerah-daerah lain di Kabupaten Sumedang, melainkan juga ke kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, seperti Kabupaten Bandung dan Purwakarta. Selain menyebar ke beberapa daerah, kesenian ini juga mengalami perkembangan, baik dalam kualitas permainannya maupun waditra dan lagu-lagu yang dimainkan. Di Kabupaten Sumedang kualitas permainan kuda renggong diukur menurut standar Persatuan Kuda Sumedang (PKS) yang dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: (1) kuda kualitas baik dan pernah menjadi juara dalam festival kuda renggong tingkat kabupaten; (2) kualitas kuda tingkat pertengahan (kualitas pasaran/pasaran mentas); dan (3) kuda renggong yang masih dalam tahap belajar (kuda baru).
Pemain
Para pemain kuda renggong umumnya adalah laki-laki dewasa yang tergabung dalam sebuah kelompok yang terdiri atas: seorang pemimpin kelompok (pelatuk), beberapa orang pemain waditra, dan satu atau dua orang pemain silat. Para pemain ini adalah orang-orang yang mempunyai keterampilan khusus, baik dalam menari maupun memainkan waditra. Keterampilan khusus itu perlu dimiliki oleh setiap pemain karena dalam sebuah pertunjukan kuda renggong yang bersifat kolektif diperlukan suatu tim yang solid agar semua gerak tari yang dimainkan dapat selaras dengan musik yang dimainkan oleh para pemain waditra.
Tempat dan Peralatan Permainan
Kesenian kuda renggong ini umumnya ditampilkan pada acara: khitanan, menyambut tamu agung, pelantikan kepala desa, perayaan hari kemerdekaan dan lain sebagainya. Biasanya dilakukan pada siang hari dan berkeliling kampung. Durasi sebuah pementasan kuda renggong biasanya memakan waktu cukup lama, bergantung dari luas atau tidaknya kampung yang akan dikelilingi.

Peralatan yang digunakan dalam permainan kuda renggong adalah: (1) satu sampai empat ekor kuda yang sudah terlatih beserta perlengkapannya yang terdiri dari: sela (tempat atau alat untuk duduk penunggang kuda), seser (pembalut kepala kuda), sanggawedi (pijakan kaki bagi penunggang), apis buntut (tali penahan sela yang dihubungkan dengan pangkal ekor kuda), eles (tali kemudi kuda), kadali (besi yang dipasang pada mulut kuda untuk mengikatkan tali kendali), ebeg (hiasan sela), sebrak (lapisan di bawah sela agar punggung kuda tidak luka/lecet), dan andong (sabuk yang diikatkan ke bagian perut kuda sebagai penguat sela agar tidak mudah lepas dari punggung kuda); (2) seperangkat waditra yang terdiri dari: dua buah kendang besar (kendang indung dan kendang anak), sebuah terompet, dua ancak ketuk (bonang), sebuah bajidor, dua buah gong (besar dan kecil), satu set kecrek, genjring, dan terbang atau dulang; dan (3) busana pemain kuda renggong yang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu busana juru pengrawit (wiyaga) dan busana pemain silat (pengatik). Busana juru pengrawit terdiri dari: baju seragam biru lengan panjang dan berstrip putih, celana panjang, tutup kepala iket loher, dan sandal. Sedangkan busana pemain silat terdiri dari: celana pangsi berwarna hitam, tutup kepala iket loher, dan ikat pinggang kain berwarna merah.
Pertunjukan Kuda Renggong
Pertunjukan kuda renggong diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh panitia hajat. Setelah itu, barulah anak yang telah dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki kuda renggong. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu Kembang Gadung dan Kembang Beureum yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan.

Setelah anak yang akan diarak siap, maka sang pemimpin (pelatuk) akan mulai memberikan aba-aba agar pemain silat (pengatik) dan sang kuda mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Tarian yang biasa dimainkan oleh pesilat bersama kuda renggong tersebut adalah tarian “perkelahian” yang terjadi diantara mereka, yang diantaranya adalah: gerakan kuda berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Sementara kaki depan bergerak seperti mencakar pesilat, gerakan-gerakan yang seolah-olah menginjak perut pesilat, gerakan menginjak kepala pesilat menggunakan kaki depan, dan gerakan-gerakan pesilat saat beraksi di sekitar punggung kuda. Sebagai catatan, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh sang kuda tidak begitu tinggi karena di atas punggungnya terdapat anak yang dikhitan atau pejabat yang menungganginya.
Sedangkan, lagu-lagu yang dimainkan oleh para wiyaga untuk mengiringi tarian biasanya diambil dari kesenian Jaipong, Ketuk Tilu, dan Joged seperti: Paris Wado, Rayak-rayak, Botol Kecap, Keringan, Kidung, Titipatipa, Gondang, Kasreng, Gurudugan, Mapay Roko, Kembang gadung, Kangsring, Buah Kawung, Gondang, Tenggong Petit, Sesenggehan, Badudud, Tunggul Kawing, Samping Butut, Sireum Beureum, Manuk Dadali, Adem Ayem, Daun Puspa, Solempang Koneng, Reumis Janari, Daun Pulus, dan lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet Rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dan lain sebagainya).
Pertunjukan kuda renggong ini dilakukan sambil mengelilingi kampung atau desa, hingga akhirnya kembali lagi ke tempat semula. Setelah itu, diadakan acara saweran yang didahului oleh pembacaan doa yang dipimpin oleh juru sawer (ahli nyawer) dengan menggunakan sesajen yang berupa: nasi tumpeng (congot), panggang daging, panggang ayam (bakakak), sebuah tempurung kelapa yang berisi beras satu liter, irisan kunyit, dan kembang gula. Dan, setelah acara saweran yang dilakukan dengan menaburkan uang logam dan beras putih, maka pertunjukan pun berakhir.
Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional kuda renggong yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Cikurubuk, Kabupaten Sumedang. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam kuda renggong tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama, kekompakan, ketertiban, dam ketekunan. Nilai kerjasama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. Nilai kerja keras dan ketekunan tercermin dari penguasaan gerakan-gerakan tarian. (ali gufron)

Tari ronggeng buyung

Indramayu adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Barat. Di sana ada tarian khas yang bernama Ronggeng Buyung[1]. Ronggeng buyung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama dengan cara mengalungkan ke lehernya.
Kesenian ronggeng buyung ini juga dikenal oleh masyarakat Indramayu dengan sebutan sintren. Kata sintren konon berasal dari kosa kata Belanda “Sinyo Trenen”, “sinyo” berarti “pemuda” dan “trenen” berarti “berlatih”. Jadi, secara harafiah sintren dapat dikartikan sebagai kesenian tempat pemuda berlatih. Pada waktu penjajahan Belanda, kesenian sintren digunakan oleh para pemuda untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan dalam menghadapi pasukan Belanda.
Sebagai catatan, ada pula yang beranggapan bahwa kesenian ronggeng buyung atau sintren ini bukan murni berasal dari Indramayu, melainkan merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah sekitar Pantai Utara Jawa Tengah, seperti Brebes, Tegal, Pemalang, dan Pekalongan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya menyebar ke daerah Indramayu, Kuningan, Cirebon dan Cilacap dengan berbagai ciri dan keunikannya sendiri-sendiri.
Pemain
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok kesenian ronggeng buyung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. Namun demikian, dapat pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain. Biasanya peminjaman pemain terjadi untuk memperoleh pesinden lalugu, yaitu perempuan yang sudah berumur agak lanjut, tetapi mempunyai kemampuan yang sangat mengagumkan dalam hal tarik suara. Dia bertugas membawakan lagu-lagu tertentu yang tidak dapat dibawakan oleh pesinden biasa.
Salah satu ciri khas ronggeng buyung yang berbeda dengan ronggeng-ronggeng lainnya adalah sintren atau penarinya haruslah seorang gadis yang berusia sekitar 9-11 tahun atau belum bernah mengalami menstruasi. Hal ini disebabkan karena gadis yang masih “suci” dianggap dapat dengan mudah mengalami trance (kerasukan/tidak sadar) apabila sedang menari ketimbang gadis-gadis yang telah mengalami menstruasi.
Peralatan Permainan
Peralatan yang digunakan untuk mengiringi kesenian ronggeng buyung adalah seperangkat waditra yang terdiri dari: dua buah ketipung, sebuah kendang kecil, tiga buah ketuk, kecrek, goong, tutuka, dua buah buyung/juru/klenting (wadah untuk mengambil air), dan saat ini dilengkapi pula dengan gitar listrik.
Selain waditra, perlengkapan lain yang digunakan dalam kesenian ini adalah: sebuah kurungan ayam yang ditutup dengan kain batik untuk menutupi penari saat berganti busana, dlupok (tempat membakar kemenyan), kemenyan, bunga-bungaan, minyak wangi, bunga yang diuntai, dan pakaian penari yang mirip dengan pakaian penari tari srimpi lengkap dengan kacamata hitam.
Pertunjukan Ronggeng Buyung
Pertunjukan ronggeng buyung diawali dengan mengadakan upacara tertentu yang dipimpin oleh pemimpin kelompok (dalang) untuk mengundang roh-roh halus agar mau memasuki tubuh penari. Untuk itu, perlu disediakan kemenyan, tempat pembakaran kemenyan, bunga-bungaan, dan minyak wangi. Selanjutnya, alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan.

Setelah itu, sang penari memasuki arena pertunjukan dengan masih mengenakan pakaian biasa atau pakaian sehari-hari. Kemudian, oleh pemimpin kelompok (dalang) ia disuruh berjongkok lalu ditutup dengan menggunakan kurungan ayam yang telah dilapisi kain batik. Pada saat penari telah berada di dalam kurungan, sang sinden diiringi waditra menyanyikan lagi pemujaan yang berbahasa Jawa Indramayu, yang liriknya sebagai berikut:
Turun-turun sintren
Wintrene widhadhari
Widhadhari tumuruno
Aja suwen mindho dalem
Dalem sampun kangelan
Setelah dalang menyatakan bahwa sang penari telah dalam keadaan trance, maka kurungan pun segera dibuka. Selanjutnya, sang penari yang telah berganti pakaian dengan kostum penari srimpi lengkap dengan kacamata hitam mulai menari sambil diiringi dengan lagu Sulasi, yang liriknya sebagai berikut:
Sulasi Silandana
Menyan kang ngundang dewa
Ala dewa dening sukma
Widhadhari tumuruno

Kemudian, dilanjutkan dengan lagu Tambak-tambak Pawon yang liriknya sebagai berikut:

Tambak-tambak pawon
Aku kena udang kuwali
Mung jaran mungsapi
Njaluk prawan sing nomor siji
Setelah lagu Tambak-tambak Pawon selesai, para penonton mulai nyawu (nyawer) sang sintren dengan melemparkan saputangan, baju, atau kain lainnya yang berisi uang alakadarnya sambil meminta pemain untuk menyanyikan lagu-lagu yang diinginkannya yang kebanyakan adalah lagu dangdut. Sebagai catatan, pada saat penonton melemparkan sesuatu ke arah sintren, sang dalang senantiasa berada di belakangnya karena sang sintren akan langsung terdorong ke belakang dan pingsan. Dan, untuk menyadarkannya kembali, sang dalang kemudian mengarahkan asap kemenyan dari dlupok ke arah hidung sintren agar ia kembali menari lagi.
Lagu yang dibawakan pada saat dimulai acara nyawer ini adalah lagu Ayo Ngewer-ngewer Puntren yang liriknya sebagai berikut:

Ayo ngewer-ngewer putren
Sing dikewer rujake bae
Ayo nyawer-nyawer sintren
Sing disawer panjoke bae

Apabila penonton yang nyawer sudah mulai sepi, sang dalang menyuruh sintren berhenti menari lalu berjongkok untuk selanjutnya ditutup kembali dengan kurungan ayam. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka dan sang sintren kembali mengenakan pakaian sehari-hari, namun masih dalam keadaan tidak sadar. Untuk menyadarkanya kembali, sang dalang mengarahkan asap kemenyan dari dlupok ke arah hidung sintren agar ia siuman. Dan, dengan siumannya sang sintren, maka pertunjukan ronggeng buyung pun berakhir.
Nilai Budaya
Seni sebagai ekspresi jiwa manusia sudah barang tentu mengandung nilai estetika, termasuk kesenian tradisional ronggeng buyung yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakat Indramayu. Namun demikian, jika dicermati secara mendalam ronggeng buyung tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kerja sama, kekompakan, dan ketertiban. Nilai kerja sama terlihat dari adanya kebersamaan dalam melestarikan warisan budaya para pendahulunya. Nilai kekompakan dan ketertiban tercermin dalam suatu pementasan yang dapat berjalan secara lancar. (pepeng)

WAYANG GOLEK

1. Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.
Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).
Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.
3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.
4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.